Gerbang Selamat Datang di Karimunjawa |
Aku pernah berguman sendiri sewaktu duduk di kursi area Tugu Jogja. Berujar sembari melihat setiap sisi jalan sekarang dipenuhi hotel menjulang tinggi.
“Jogja sekarang dipenuhi bangunan hotel dan pusat perbelanjaan. Jarang sekali ada pepohonan yang rindang seperti di Pengok. Sekarang ini banyak tanah kosong disulap menjadi bangunan megah.”
Sepintas gumananku itu semacam kritikan, tapi tak langsung ditujukan pada mereka yang membangun. Gumanan tersebut hilang bak asap kopi panas di dalam cangkir menghilang terbang ke angkasa. Hanya sesaat itu saja, selebihnya aku melupakannya.
*****
Itu hanya cerita dulu, bukan sekarang. Aku sudah terbiasa melihat gedung menjulang tinggi di Jogja. Mungkin aku akan kaget kalau jejeran gedung itu ada di Jepara, terlebih di Karimunjawa.
Lebih dari satu dekade atau dasawarsa aku tak lagi menetap di Karimunjawa. Sejak 2004 – sekarang, aku lebih banyak menghabiskan waktu di Jepara dan Jogja. Tiga tahun di Jepara, selebihnya aku hidup di Jogja, hingga sekarang.
Selama itu pula Karimunjawa bersolek. Wisata Karimunjawa menggeliat berbarengan dengan munculnya sosmed seperti Facebook & Twitter. Untuk diketahui, sebelum tahun 2010, masih sedikit Paket Wisata yang muncul di Karimunjawa. Namun ketika akhir 2011 mulailah banyak Paket Wisata ke sana.
Ramainya wisatawan berbarengan dengan banyaknya bangunan di setiap sudut Karimunjawa, sebagian besar warga memanfaatkan lahan di dekat rumahnya dibangun menjadi Homestay/penginapan.
Sejak itu pula, tanah-tanah di Karimunjawa harganya melonjak. Hampir setiap orang tahu, lahan kosong di Karimunjawa bagaikan emas yang harus dimanfaatkan. Jika tidak, tentu akan sia-sia. Alhasil, sekarang ada banyak penginapan yang sudah dibangun di sana. Bahkan ada juga hotel dengan fasilitas mumpuni.
Jika kalian pernah ke Karimunjawa jauh sebelum tahun 2010 dan masih menaiki Kapal KMP Muria. Kalian dapat melihat barisan bukit hijau tatkala mendekati Pelabuhan Karimunjawa. Sekarang pun masih sama, hanya saja sudah ada beberapa resort yang bangunannya megah di tepian pantai. Tidak mencolok memang, tapi dari sini kita langsung paham bagaimana berkembang pesatnya Karimunjawa.
Apa Kabar Barisan Bukit Hijau Karimunjawa? |
Menarik rasanya mencari informasi mengenai harga tanah di Karimunjawa. Lima tahun ke belakang, harga tahan di Karimunjawa naik drastis. Sebagian besar tanah tersebut dibeli oleh orang-orang luar Karimunjawa. Di sana mereka membuat hotel dan menyulap pantai-pantai yang dulunya tak dikenal menjadi tujuan wisata.
Sedikit informasi saja sebagai patokan harga tanah di Karimunjawa. Tahun 1990, Karimunjawa (khususnya Desa Kemujan) dipilih sebagai tempat strategis pembuatan Bandara. Pada tahun tersebut, harga pembebasan tanah itu antara Rp.125-150/meter. Kebun sebagian warga Jelamun & Telaga yang ditanami Jeruk dan Nangka ubah menjadi Bandara Dewadaru. Selanjutnya, pembebasan tanah kedua pada tahun 1994, harga tanah naik menjadi Rp.1000/meter.
Tahun 2009, harga tanah mulai naik tajam. Di tempat-tempat yang bagus sudah berlipat-lipat harganya. Melalui informan yang kudapatkan, tahun 2009 harga tanah per meter adalah Rp. 10.000 di Batulawang. Lokasi ini jauh lebih murah dibanding area lain karena Batulawang aksesnya cukup lumayan susah waktu itu. Sama halnya dengan di Mrican, harga tanah jauh lebih murah dibanding Jelamun, Kemujan, apalagi daerah Karimunjawa.
Selang dua tahun, masih di area dusun Batulawang harga tanah di tepian pantai dibanderol Rp.70.000/meter. Aku yakin di area yang lebih strategis, tahun 2012 harganya sudah lebih dari Rp. 200.000/meter. Tahun 2012 juga menjadi tahun yang sibuk bagi perangkat desa. Mereka dihadapkan dengan para investor tanah yang ingin membeli lahan strategis dengan harga yang fantastis. Harga akan melambung tinggi ketika lokasinya berada di tepian pantai dan dekat dengan pelabuhan atau jalan besar.
Jika ditanya kenapa tanah warga dijual pada investor, jawaban mereka tentulah karena faktor ekonomi. Kita tidak bisa menyalahkan warga yang menjual, karena itu memang lahan mereka. Dan mereka berhak menjualnya ke siapapun.
Para investor melihat ada peluang besar untuk membangun hotel/penginapan di Karimunjawa, karena tahun itu juga wisata ke Karimunjawa sangat booming. Tak ada yang salah memang, selama mereka tidak merusak lahan hijau di sana. Salah satu yang perlu diperhatikan ketika membangun hotel/penginapan dalam skala besar adalah Analsis Dampak Lingkungan (AMDAL) pembangunan hotel tersebut.
Pihak yang membangun harus bisa meyakinkan jika bangunan tersebut tidak akan berefek buruk pada masyarakat sekitar. Itu pula yang diteriak-teriakan warga pribumi Jogja dengan teriakan slogan “Jogja Asat & Jogja Orak Didol”.
Jadi apa hubungan harga tanah di Karimunjawa dengan tulisan ini?
Bulan Oktober 2016, aku asyik menulis artikel untuk stok di blog, dan sesekali menengok sosial media. Tanpa sengaja ada berita dari Suara Merdeka dengan judul “Banjir Lumpur Ancam Karimunjawa”. Selama ini aku tidak pernah mendengar ada banjir lumpur di Karimunjawa, yang terdengar mengenai Karimunjawa biasanya ombak besar saat cuaca buruk.
Aku membaca berita tersebut dan mengira-ngira lokasi yang terkena banjir lumpur. Tidak asing rasanya dengan lokasi tersebut. Lokasi yang terkena di area Asrama SMP, ini artinya lumpur yang terbawa air itu dari atas bukit. Apa dari akses jalan menuju Bukit Joko Tuwo?
Dulu lokasi ini adalah kebun Jambu Mete, ketika aku ke sana tahun lalu, jalanan masih dari tanah. Bisa jadi air dari bukit tidak menyerap dan mengalir sampai ke bawah dengan membawa lumpur. Yang jelas, pepohonan yang dulunya hijau itu sudah hilang. Berharap di sana dilakukan reboisasi mengganti pepohonan yang sempat ditebang.
Belum sempat terjawab rasa penasaranku mengenai berita di atas. Akhir November 2016, sebuah berita lagi dari Suara Merdeka dengan judul “Punggung Bukit Karimunjawa Kini Berbopeng”. Sebuah berita disertai foto bukit di Karimunjawa yang botak. Kulihat seksama foto tersebut. Jika tidak salah, foto ini diambil dari area Pelabuhan Lama Karimunjawa.
Berita terbaru dengan topik serupa ditulis pada portal Kompas, tulisan yang diposting pada hari Rabu, 11 Januari 2016 dengan judul “Karimunjawa Terancam Krisis Air Bersih” pun mengulas tentang perbukitan di Karimunjawa. Di sana dengan jelas dituliskan kekhawatiran penduduk Karimunjawa tentu mengenai kesediaan air bersih.
*****
Awal desember 2016 aku akhirnya memutuskan mudik ke Karimunjawa. Rencananya hanya main ke Jepara, berhubung ada tiket ke Karimunjawa, akupun pulang tanpa memberi kabar ke orang rumah. Di saat itu pula aku berkesempatan melihat lahan yang “berbopeng” tersebut. Lahan tersebut berada di bukit dan dibakar.
Kusempatkan menjejakkan kaki tepat di bawah lahan yang berbopeng (menurut tulisan Suara Merdeka). Hujan rintik menemaniku kali ini, kuambil kamera dan semampunya mengabadikan di bawah guyuran air hujan. Dari dekat, lahan ini memang dibabat (dibakar) habis. Sampai sekarang tidak ada informasi yang kudapat akan dibuat apa bukit ini. Apa dibuat semacam tempat gardu pandang, atau dibangun hotel?
Penampakan lahan di perbukitan yang dibakar |
Bukit yang “botak” ini berada di dukuh Jatikerep. Dukuh yang berbatasan langsung dengan Karimunjawa (pusat keramaian). Tidak jauh dari Jati Kerep, ada namanya dukuh Legon Boyo dan Legon Goprak. Di sana adalah tempat sumber mata air untuk sebagian besar masyarakat Karimunjawa. Terbesit pertanyaan, apakah pembabatan semacam ini tidak berpengaruh pada sumber mata air?
Boleh-boleh saja sih membangun hotel di lahan pribadi, hanya saja banyak yang harus diperhatikan. Lokasi lahan tersebut berada di mana, atau seperti apa lahannya. Jika kita menilik mengenai AMDAL, ada banyak komponen yang harus tetap dipertahankan.
Di antaranya; Hutan Lindung, Hutan Konservasi, SDM, Kualitas Udara, Keanekaragaman Hayati, dan masih ada poin-poin lainnya. Melihat lahan yang dibabat ini berada di area perbukitan, apa mungkin tidak merusak dari salah satu yang harus diperhatikan (AMDAL)?
Aku percaya perangkat desa di Karimunjawa tentu berpikir keras bagaimana cara menyikapi pembangunan yang seperti ini. Takutnya, bukit-bukit lainnya yang masih hijau nantinya terbabat habis menjadi bangunan semen. Hai BTN Karimunjawa, apakah hal seperti ini sudah diperbincangkan sewaktu minum kopi di kantor?
Kuterabas gerimis yang mengguyur Karimunjawa. Tujuanku kali ini ke arah Kapuran. Dari tepian jalan, ada beberapa titik yang lahannya diratakan. Lokasi tersebut tepat berada di daerah pemukiman warga. Sepertinya, dalam beberapa waktu ke depan, akan ada banyak bangunan permanen di sana.
Salah satu sudut jalan di Karimunjawa sewaktu gerimis |
“Motret apa mas? Kok nenteng kamera dan lihat ke selokan?” Tanya seorang bapak di sampingku.
“Ah, tidak pak. Ini sengaja motret selokan saja,” Jawabku sembari memasukkan kamera takut terkena air hujan.
Aku duduk menunggu hujan reda di dekat Bank BRI. Bapak yang di sampingku sedari tadi memperhatikan gerak-gerikku. Sejenak aku sengaja diam dan membaca buku yang ada di dalam tas.
“Katanya Karimunjawa pernah banjir lumpur ya pak di dekat bangunan Puskesmas baru?”
Kubuka obrolan sore ini agar tidak terkesan kaku. Terlebih bapak ini tidak mengenaliku sebagai warga Karimunjawa. Jangan tanya aku, sudah pasti aku tidak mengenail bapak ini. Setahuku dia tadi sempat telpon dan mengambil uang di ATM BRI.
“Cuma meluber sedikit kok mas. Bukan banjir, tapi air genangan yang tidak meresap karena selokan kecil.”
Memang selokan di Karimunjawa relatif lebih kecil dan sebagian tersumbat. Aliran air tidak berjalan dengan lancar sehingga meluber ke jalan. Tapi ini bukan satu-satunya penyebab air tergenang kan? Katanya air yang menggenangi area bangunan Puskesmas baru kiriman dari atas bukit.
Salah satu selokan di tepian jalan Karimunjawa |
“Oya pak, itu di bukit sebelah sepertinya habis dibakar ya? Apa mau dibangun hotel?” Pancingku kembali.
“Kalau itu sepertinya mau dibuat bangunan mas. Iya sih dibakar, mungkin biar cepat bersih. Kan itu tanah pribadi.”
Aku terdiam, tak kudapatkan informasi lebih detail mengenai lahan tersebut milik siapa. Dan apakah membakar lahan pribadi di area perbukitan itu diperbolehkan oleh perangkat desa dan BTN? Kita tidak pernah tahu ke depannya seperti apa.
Satu hal yang kutakutkan adalah barisan bukit hijau Karimunjawa yang bisa terlihat indah dari tengah samudera berubah menjadi bangunan kokoh dengan berbagai warna. Aku lebih takut lagi jika efek bangunan itu berimbas pada mata air di perbukitan yang selama ini menjadi sumber kehidupan warga Karimunjawa.
Gumananku tahun lalu yang mengkritisi bangunan hotel di Jogja ternyata tak berhenti di sana saja. Kali ini Karimunjawa pun menghadapi masalah yang sama. Semoga slogan Jogja Asat tak berubah menjadi Karimunjawa Asat.
“Semoga tetap hijau bukit Karimunjawa. Hanya itu harapanku untuk Karimunjawa.”
*Dokumentasi lahan di atas diambil pada hari Senin, 05 Desember 2016
Informasi mengenai harga tanah penulis dapatkan dari obrolan dengan warga setempat di Kemujan. Tulisan ini murni dari ide penulis, ide menulis ini muncul karena ketakutan penulis akan hilangnya lahan hijau di Karimunjawa.
hehehe keresahan kecilku kmrn, akhirnya dirasakan kamu juga mas sbg penduduk asli karimun jawa. saya bukan anti pembangunan sih, tp setidaknya pembangunan memperhatikan lingkungan sekitar juga. karena masalah utamanya adalah air bersih. ga bisa bayangin pulau sekecil itu kekeringan kan kasihan :(
BalasHapussemoga aspirasimu didengar mas. untuk kemajuan pariwisata karimun jawa yang berwawasan lingkungan :)
Kenyataannya keresahaan jika kekurangan air benar-benar ditakutkan, mas. Setahu saya, daerah mata airnnya yang paling bagus di Karimunjawa itu di dusunku. Kalau di Karimunjawa mengandalkan yanga da di legon goprak, semoga bisa diatasi bersama-sama ketakutan ini.
HapusHm, padahal Karimunjawa itu sudah menyandang predikat Taman Nasional ya. Saya pikir dengan menyandang gelar TN namanya konservasi alam tidak dikalahkan kepentingan ekonomi, tapi ternyata bedanya juga tak jauh dengan daerah wisata lain. Memang ini gejala yang buruk banget Mas. Tidak cuma di Karimunjawa. Bali, Lombok, Jawa Timur, semua daerah yang pariwisatanya booming (terima kasih pada media sosial) pasti menghadapi masalah serupa. Tanah mulai habis, alam mulai dijual, semata-mata karena kepentingan ekonomi. Semoga tulisan Mas ini dibaca oleh pihak yang berwenang ya. Minimal peduli deh sama nasib Karimunjawa, sayang kalau gelar Taman Nasional hanya tinggal gelar semata. Kita kan tidak hidup hari ini saja.
BalasHapusEh saya jadi tertarik juga deh bahas ini dalam sebuah postingan tersendiri, haha.
Benar mas.
HapusMemang setiap tempat yang sudah dikenal keindahannya akan mempunyai permasalahan yang sama. Pihak yang bertanggungjawab harus bekerja ekstra keras menjaga agar lahan tersebut tetap lestari.
Karimun banyak berubah, semoga perubahan ini membawa lebih baik. Jangan ada alasan banjir lumpur karena selokan terlalu kecil lagi ... damai karimun, aku suka ragamu
BalasHapusTetap mempesona kan, om? Harapan setiap warga Karimunjawa sama, om.
Hapusdampak negatifnya jadi seperti itu ya .. tidak hanya terjadi di jogja dan karimun jawa .. tapi di daerah2 juga begitu, biasanya sih aturan dan hukumnya sudah ada ... tapi ya .. hanya ada di atas kertas saja .. kenyataan di lapangan berbeda
BalasHapusKetika nanti apa yang ditakutkan terjadi, di sana pasti langsung berubah. Lebih baik mencegah daripada mengobati :-(
Hapus2014 saya ke sana mas. Dan karimunjawa selalu saja membuat saya ingin kembali. Saat ke sana saya saja terpikirkan untuk membeli tanah di sana. Apalagi buat mereka2 yg berduit? Tapi kalau sampai karimunjawa nantinya jadi kota penuh bangunan di sana-sini tentu nggak akan menarik lagi, karna nggak akan ada bedanya pergi kesana. Semoga pemerintah bijak membuat kebijakan biar karimun tetap lestari. Nice post
BalasHapusPembangunan harus mengikuti aturan (harusnya), mbak. Kadang yang disusahkan itu banyak aturan yang dilanggar dan itu sebuah kewajaran.
HapusOhhh,, saya merasa kuper sendiri di sini belum mengenal apa-apa tentang karimun jawa. But I did enjoy your writing. :)
BalasHapusBanyak yang mengenal Karimunjawa karena keindahannya mbak, karena memang itu yang terekspos.
HapusDilema, kemajuan pariwisata sering berdampak buruk pada lingkungan, semoga ada pembatasan pembangunan di Karimunjawa ya mas,
BalasHapusSemoga batasan-batasan seperti lebih jelas diberlakukan di setiap tempat :-)
HapusTerkadang pembangunan cuma melihat dari segi ekonomis doang.
BalasHapusPadahal akibatnya bisa merugikan banyak orang.
Semoga ke depannya pembangunannya bisa lebih baik dan dengan pertimbangan yang lebih matang.
Jika pembangunannya terlalu padat memang ada unsur-unsur yang terkikis, mas. Harus bisa menyikapi lebih bijak jika ingin membangun.
Hapuskalau sudah touristy hijaunya sering hilang memang mas
BalasHapusItu yang ditakutkan mas :-(
HapusSemoga pembakaran lahan hijau ini membawa penggantian yang lebih baik. Kalau pun memang bekas lahan itu mau dijadikan properti komersil, semoga hasilnya bisa dimanfaatkan oleh penduduk Karimunjawa sendiri.
BalasHapusPerlu dicermati itu lahan yang dibakar adalah milik siapa. Kalau memang itu lahan milik pribadi, mau dibakar ataupun dia gali-gali sendiri, itu adalah hak pemiliknya.
Kalau menurut informasi ini memang lahan pribadi, mbak.
HapusKita memang tidak bisa banyak bertindak, hanya bisa berharap ke depannya lahan yang tepat di atas bukit lainnya bisa terjaga. Tidak sedikit tanah pribadi yang di bukit berbatasan langsung dengan hutan lindung BTN.
sedih kalo liat lahan hijau tiba2 dirombak jd bangunan tinggi gitu :(.. kenapa ya orang2 ini lbh mikirin keuntungan kantongnya drpd efek yg bisa ditimbulkan nanti :(... dan aku lbh mikirin hewan2 liar yg nantinya terpaksa mengungsi ke tanah warga kalo lahan/hutan mereka diratakan mas.. ujung2nya dibunuh dgn alasan mengganggu kebun warga :(
BalasHapusSemakin banyak lokasi yang dikenal, semakin banyak pembangunan yang dibangun. Tugas warga setempat memang harus berjuang :-(
HapusAku belum pernah sih kesini. Tapi ya sedih juga denger ceritanya gini. Memang pengin nya sih sarana prasarana aman lancar disana, tapi Kalo lingkungan jadi korban kayaknya gak banget deh, Kalo aku pribadi mending asli yang alami (biar susah kesana yang penting hepi,nginep pake tenda juga Ok,kan gak ngerusak alam). Pembangunan wisata harusnya memperhatikan efek yang bakalan terjadi jika dilakukan hal hal tersebut. Walaupun punya pribadi alangkah baiknya memperhatikan lingkungan. Kalo kuperhatikan (dari pengalamanku) turis asing lebih menghargai alam Indonesia yang alami. Mereka tidak menuntut adanya fasilitas hotel dsb. Tapi mungkin beberapa yang kutau.
BalasHapusInginnya harus ada peraturan yang mengatur bagaimana harusnya pembangunan, lokasinya di mana dan lainnya. Sehingga tidak serta-merta asal membangun :-)
Hapuslagi-lagi ini soal pembangunan yang tak ramah lingkungan, tak ada visi hijaunya sama sekali, tak menyeluruh pemikiran yg dipakai untuk membangun...ah, di mana orang pemerintahan? jangan katakan tak berani menertibkan investor yg merusak alam itu ya.
BalasHapusPembangunan memang diperbolehkan selama mengikuti aturan yang berlaku. Seomga menajdi lebih baik di manapun tempatnya
HapusAku warga Surabaya juga tidak setuju dengan komersialisasi tanpa melihat dampaknya terhadap lingkungan. InshaAllah bisa berwisata kesana tahun depan yg kebetulan saat ini aku ada diperantauan.
BalasHapusEfeknya kembali terjadi kang. Bulan ini Karimunjawa terkirim banjir lagi dari atas dan menggenangi ratusan rumah.
Hapusmemang hijaunyaindonesia itu harus dipertahankan, tapi jangan sampe merusak yang lainnya kra2 bsa gak yah?
BalasHapusBenar, kita hrus menyeimbangkan antara alam dan bangunan
Hapus