“Kapan
terakhir menantikan senja di tepian pantai? Kapan terakhir menikmati sunyinya
pantai tanpa banyak hiruk-pikuk teriakan para pengunjung dan lalu-lalang orang
berjalan di sekelilingmu? Ahhh tentu kamu merindukan waktu seperti itu.
Berharap bisa menikmati segala kesunyian pantai kala senja menggelayut, merayu
setiap pasang mata yang bersabar menantinya.”
Kulongokkan kepala melalui jendela
menatap luar. Langit sangat cerah, aku mengganti kaos lalu mengayuh sepeda
menuju rumah teman yang jaraknya 500 meter dari rumah. Di sana temanku (Riki)
sedang duduk santai. Kuparkirkan sepeda dipekarangan depan rumah, lalu nimbrung
ngobrol. Sepertinya dia paham kedatanganku, tanpa pikir panjang kami langsung
menaiki sepeda motor menuju pantai. Pantai manapun tak masalah, intinya dari
tepian pantai itu bisa terlihat sunset.
“Dermaga Gelaman atau mana?” Tanya Riki kearahku.
“Jangan dermaga Gelaman, di tepian pantai Telaga saja.”
Jalan penghubung antar dusun sudah
bagus walau masih saja tak rata. Kami menaiki kendaraan motor santai. Dari sini
terlihat tempat landas pacu bandara Dewadaru di sisi kiri, sementara berjejeran rumah ada di sebelah kanan.
Sesekali hanya terlihat pohon Kelapa. Atau samar-samar terlihat pantai yang
jarak dari jalan tak lebih dari 150 meter.
Melintasi jalan Telaga yang dipenuhi
pohon Jambu Mete (Jambu Moyet), kami menuju jalan bekas perempatan yang kini
menjadi jalan buntu akibat perpanjangan Bandara. Tujuanku adalah pantai di
Dusun Telaga. Pantai ini sebenarnya tempat singgahnya nelayan, di sana cukup
teduh karena ada pohon Ketapang besar yang rimbun. Namun di sana sudah ada
banyak penduduk setempat yang ramai menunggu nelayan pulang. Kami putuskan
mencari tempat yang sepi.
Tempat kedua pun juga sedikit ramai,
ada lebih dari lima penduduk setempat menunggu nelayan datang. Kami mengendarai
motor berlahan, tepat perbatasan antara Gelaman – Telaga (yang dibatasi sebuah
gorong-gorong kecil) kami berhenti di dekat tanaman Jati yang masih
kecil-kecil. Ada jalan setapak menuju pantai, motor kami parkirkan di tepi
jalan dan berjalan kaki ke bibir pantai. tak jauh sih, mungkin hanya berjarak
50 meter saja dari jalan cor sampai di bibir pantai. Aku sengaja memilih tempat
ini lantaran sepi. Dari ujung jalan besar seorang bapak menuju ke arah kami. Beliau
tersenyum menyapa kami.
Masih menantikan senja di pantai |
Masih menantikan senja di pantai |
Bagiku di manapun sudut kalau kita
ingin memotret sunset yang terpenting
adalah tak ada halangan pepohonan atau bukit. Kalau ditutupi awan sih sudah
resiko. Kuambil kamera dan mengabadikan laut lepas, tak ada ombak, tak ada
hempasan angin kencang. Sangat sunyi, hanya saja mendung tebal tepat berada di
ufuk barat, di mana sang mentari ingin membenamkan tubuhnya. Sebuah kapal
terjangkar di dekat pantai, dan pemiliknya sedang asyik menguras air.
Nampaknya senja ini aku tak beruntung
menyaksikan sang raja siang terbenam. Mendung tebal bukannya berarakan pergi,
malah semakin mengumpul dan melebar. Alhasil, cukuplah aku menikmati senja
bergelayut awan yang tergantung. Tak perlu disesali, walau tertutup mendung,
tetap saja cahayanya masih dapat kuabadikan. Aku bahkan pernah merasakan gagal
melihat sunrise yang lebih parah
ketika sedang di Jepara; kala itu gagal melihat sunset di Pantai Teluk Awur.
Walau sebenarnya sore ini sangat cerah, tapi mendung tebal tepat diperaduannya
matahari membuatku harus urung diri menahan sesal.
“Gagal lihat sunset, kak?” Celetuk Riki.
“Tapi nggak gagal menikmati senja, kan?” Balasku terkekeh.
Sunset memang
tak terlihat, tapi tetap ada banyak objek yang dapat diabadikan. Tepian pantai
yang segaris dengan Dermaga Gelaman ini ada beberapa kapal yang tertambat di
tengah laut. Masyarakat setempat tak semuanya melabuhkan kapalnya di
pelabuhan/dermaga, banyak di antara mereka yang membuat pancang (batang kayu sebesar betis kaki dan ditancapkan ke dalam
pasir) untuk menambatkan kapal. Biasanya, diujung depan tali diikatkan pada tonggak
kayu tersebut, sementara di bagian belakang ditahan dengan jangkar. Jadi ketika
ada ombak atau angin kencang, kapal bisa tetap tenang tak terombang-ambing.
Mereka menuju daratan menggunakan sampan kayu. Jika mendapatkan ikan banyak pun
tetap menggunakan sampan untuk mengangkut sampai ke daratan/pesisir.
Tepat di depanku, sebuah kapal sedang
dipindahkan tempat. Tak perlu menggunakan mesin, cukup sebuah galah bambu
dijadikan dayung. Ditancapkannya ujung galah bambu itu ke dalam pasir, kemudian
ditekan oleh nelayan sehingga kapal bergerak sesuai arahan nelayan. Tak sulit
jika kita sudah terbiasa melakukannya, karena di sini arus tak terlalu kencang.
Orang yang memindahkan kala adalah bapak yang tadi menyapaku. Di ujung lainnya,
terlihat samar seorang nelayan sedang mendayung sampan. Nelayan itu tak pulang
dari mancing, tapi dia sedang memeriksa lahan Rumput Lautnya. Terbentang di
sekitarnya ada berserakan pelampung kecil dari busa/gabus atau bekas botol air
mineral. Setiap hari masyarakat yang mempunyai Rumput Laut pasti memeriksa
kondisi Rumput Laut. Jika sedang panen, akan ada banyak Rumput Laut yang bawa
ke daratan. Sementara di angkasa terlihat secercah cahaya menguning. Senja
mulai merangkak, membuat tempat ini sedikit lebih gelap.
Suasana senja di pantai Karimunjawa |
Senja tak pernah ingkar tentang
keindahannya. Terlepas dari gumpalan awan tebal berwarna gelap di ufuk barat,
cahaya mentari berpendar di angkasa. Dapat kulihat warna jingga menggelayut di
angkasa. Tak henti-hentinya aku menatap dan sesekali mengabadikannya. Sebuah
pemandangan indah tepat di hadapanku. Kapal, keramba, dan senja di tepian
pantai. Kombinasi yang indah sebenarnya, terlebih duduk di pesisir pantai nan
sepi.
Tak ada yang menampik keindahan warna
jingga yang terlihat di angkasa. Guratan cahaya itu terlihat lebih elok
menjelang magrib. Langit sore ini akan jauh lebih indah jika mentari tak
tertutup mendung. Semoga esok aku bisa melihat yang lebih indah lagi dan
pesisir pantai sini. Kalaupun tidak di sini, ya segaris dengan pantai tak
bernama ini. Bisa jadi di Dermaga Gelaman.
Halo guratan cahaya senja |
Tanpa disadari gelap pun menutupi
menjadi pemandangan setelah senja berlalu. Hanya ada sedikit cahaya yang terlihat
berwarna jingga, selebihnya hanya temaram cahaya yang akan menajdi gelap gulita.
Aku dan Riki bergegas meninggalkan pesisir pantai tak bernaman ini. Menyusuri jalan
cor Telaga menuju dusunku. Dari sini terdengar nyaring suara adzan magrib;
suara nyaring itu keluar dari corong toa masjid Telaga. Masjid yang dimana
kukunjungi kala sholat jum’at bareng bapak. *Berburu
sunset di pesisir tak bernama kawasan Gelaman pada hari Jum’at; 25 Maret 2016.
Baca juga tulisan pantai lainnya
Aku malah nemu senja cakep di antara sawah2 dan pohon kelapa saat di karjaw
BalasHapusWoooo bisa dicoba itu tempatnya, om hahahhahhaa
Hapuswuhhhh cakep mas great momentnya keren nih spotnya mantap euuyy...
BalasHapusTapi lebih indah lagi kalau cerah :-D
HapusSudah lama sekali saya 'absen' menyambut senja. Butuh piknik berarti ini hehehe. Anyway, fotonya keren :)
BalasHapusHahahhahhaha, sepertinya kamu terlalu sibuk, mas :-D
HapusWadauu keren banget kang foto-fotonya, sumpah ini beneran keren :D
BalasHapusTerima kasih hehehhehhe, kudu liburan berarti kang :-D
HapusPasti atuh etamah kang kudu liburan, nunggu dompet penuh dulu kang baru brangkattt :D
HapusJangan dipenuhin dompetnya ahhahah, pakai dulu nanti kan ada lagi :-D
Hapusbeloman ke karimun jawa.
BalasHapuspingin banget kesini
Semoga bisa berkunjung ke sana, mbak :-)
HapusHihihi happy ending juga..ada warna merah senjanya
BalasHapusIya mas, walau hanya sedikit saja :-D
Hapusdiamnapun senja berada selalu indah bagiku
BalasHapusSenja memang indah, karena cahayanya terlihat lembut :-)
HapusAku suka yang ada perahunya. :D
BalasHapusHuahuahua, ayoo sepedaan ke sini mas :-)
Hapusfoto2 perahu dengan background senja tetap terlihat menarik
BalasHapusSenja selalu mempunyai keindahan heheheheh
Hapusfotonya keren2 mas, btw boleh minta diajarin ngga hehehe
BalasHapusIni juga masih latihan mas, hehehehhe. Sama-sama latihan kita :-D
Hapusindah banget pemandangannya,,
BalasHapus