Langkah kakiku menapaki aspal yang
basah di sudut tepian Jepara. Jika biasanya aku ditemani sepeda, pagi ini aku
hanya menenteng tas kecil berisi kamera saja. Hujan dinihari tadi membuat
hampir sebagian besar kota Jepara basah. Rumput-rumput di tepian jalan masih
terasa seperti disiram air. Lalu-lalang warga tak seramai kala siang hari.
Sesekali aku berpapasan dengan becak yang membawa banyak barang. Bahkan, ada
juga yang menawariku agar menaiki becak menuju dermaga Jepara. Ya, senin pagi
ini kapal ekonomi Siginjai akan berlayar ke Karimunjawa.
Subuh di Jembatan Cinta Ujung Batu Jepara |
“Pantai Kartini, mas?” Seorang bapak pengayuh becak menawariku.
“Nggak pak, saya hanya olahraga,” Kilahku menuju arah Jembatan Cinta.
Dari Tanah Abang, arah menuju Jembatan Cinta dan Pelabuhan Kartini
sebenarnya berbeda, tapi namanya juga dengan profesi pengayuh becak.
Bagaimanapun beliau berusaha untuk menawarkan jasanya. Tujuanku kali ini adalah
mengabadikan sunrise dari atas Jembatan Cinta. Walau aku agak pesimis,
sedari malam hujan mengguyur deras, dan pagi pun mendung masih terus
menggelayuti angkasa. Dia tak ingin merangkak pergi agar bumi bisa menikmati
hangatnya mentari.
Cahaya terang lampu rumah warga
Jepara di sekitaran Jembatan Cinta
menjadi pembeda kala pagi, lantunan ayat-ayat suci Alquran masih terdengar di
tiap mushola/masjid walau sholat subuh sudah ditunaikan. Di sini ketika fajar
menyingsing, aku dapat mendengarkan lantunan ayat Alquran sampai pagi.
Suara-suara yang merdu membuatku sedikit terbuai. Tak hanya itu, acapkali suara
mesin kapal juga menderu-deru mengikuti sang pengemudi kapal yang menarik tuas
gas. Dentangan kencang suara mesin seperti sedang menyalak, memecah keheningan
pagi; membuat aku tersadar bahwa sekarang berada di tempatnya para
pelaut/nelayan.
Pagi di Jembatan Cinta Jepara |
Nasibku memang tak semujur suasana
yang sedikit teduh ini, dari ufuk timur hanya membesitkan cahaya silau
kekuningan. Awan sebenarnya mulai merangkak pergi, namun cahayanya tetap tak
sempurna. Sang mentari tertutup gagahnya Gunung Muria, sehingga aku hanya dapat
mengabadikan kilauan cahayanya saja. Tak kulihat bentuk sang mentari pagi ini.
tahu-tahu, dia sudang menyingsing di atas. Cahaya memendar menyilaukan mata,
aku harus memicingkan mata agar bisa menatapnya, kitupun hanya sepersekian
detik saja.
Selalu ada rencana yang tak terduga
ditiap perjalanan. Di sisi barat Jembatan Cinta terdapat sebuah jembatan panjang. Tampak juga sebuah mercusuar yang
tidak terlalu tinggi. Aku bergegas melangkahkan kaki ke arah jembatan tersebut.
Tak hanya berjalan santai, aku malah berlari-lari kecil seraya memegang kamera.
Ada jalan yang mengarahkanku pada sebuah portal dan pos penjaga. Portal ini
terbuka tanpa ada penjaga. Tulisan merah menyala di atas gapura “Pelabuhan
Jepara”.
Pelabuhan Jepara? Ada yang
mengeritkan dahi? Memang ini adalah Pelabuhan Jepara. Pelabuhan yang digunakan
para nelayan untuk bersandar kala pulang dari melaut. Bahkan diseberangnya pun
banyak ibu-ibu yang menjual/membeli ikan hasil tangkapan para nelayan. Aku
berjalan melewati sekumpulan ibu-ibu yang berbincang di tepian pelabuhan. Masih
tetap menenteng kamera, dan sesekali kuabadikan sebuah bangunan yang di depannya
terdapat tulisan besar “Pelabuhan Jepara” dengan latar belakang Mercusuar.
Mercusuarnya tak tinggi, bisa jadi hanya sekitar 15 meter saja.
Selamat Pagi Pelabuhan Jepara |
Tanggul-tanggul dan beton menyapaku
di bawah basuhan air hujan. Beberapa titik di pelabuhan ini tetap ada air yang
menggenang. Setiap sisi kanan dan kiri pelabuhan banyak kapal yang bersandar.
Beragam warna, namun paling dominan adalah warna biru dan merah yang sudah
kusam. Tiap kapal juga banyak tiang-tiang yang diujungnya sebuah bendera sang
Merah Putih. Para nelayan bahkan warga setempat sedang asyik bercengkerama
dengan kenalannya. Menikmati pagi seraya berbincang mengenai hasil tangkapan,
atau hanya sekedar menyapa saja. Tak sedikit di antara mereka sibuk menguras
air dari dalam kapal, menyulam kembali jaring dan mendengarkan lagu dari sebuah
pemutar musik. Lagunya sudah tentu Dangdut Koplo.
Tak hanya itu, bagi kapal-kapal
nelayan kecil. Mereka dengan leluasa mengikuti aliran muara air laut ke area
pemukiman warga. Kapal-kapal ini dengan mudahnya lewat bawah Jembatan Cinta yang tingginya lebih
dari lima meter dari permukaan air. Sebuah mesin terlihat jelas di sisi kiri,
tak lupa bendera dan tentunya awak kapal yang berjumlah lebih dari empat orang.
Mereka pulang dari melaut, dan ingin bergegas kembali ke rumah dengan membawa
hasil lautnya semalam. Seperti inilah rutinitas tiap pagi dan sore di Pelabuhan
Jepara. Sebuah gambaran tentang kehidupan masyarakat pantai.
Aktifitas nelayan di Pelabuhan Jepara |
Memang aku tak mendapatkan sunrise, tak melihat keindahan sang
mentari yang di ufuk timur; tapi aku mendapatkan banyak gambar mengenai
rutinitas pada nelayan di sini. Tak banyak orang luar Jepara yang mengetahui
Pelabuhan Jepara ini, padahal dari sini bisa jadi kita dapat melihat sunset. Dapat memandang jelas pulau
Panjang yang hanya berjarak beberapa mil saja. Bahkan, di sini sebenarnya
banyak digunakan para pembawa jorang untuk memancing. Kalau kalian yang
berkunjung ke Jepara dan ingin mengunjungi Pelabuhan ini namun tidak tahu
lokasinya; rutenya cukup mudah, dari arah kota silakan menuju arah stadion
Gelora Bumi Kartini, lalu ambil rute jalan ke pantai Kartini, pasti sampai.
Atau lebih mudahnya tanya sama warga, “Pelabuhan
Jepara yang di dekat Jembatan Cinta Ujungbatu mana ya pak/bu?” *Dokumentasi kapal-kapal di Jembatan Cinta
dan Pelabuhan Jepara ini pada hari Senin, 08 Februari 2016.
Baca juga tulisan tentang pantai
lainnya
keren jembatan cintanya dan top fotonya, mantap
BalasHapusKeren lagi kalau cerah, mas :-D
HapusRutinitas nelayanpun bisa jadi sumber inspirasi foto dan tulisan ya...malah bagus..gambarnya bercerita gitu
BalasHapusHeeee, ini juga asal menceritakan, mbak :-)
HapusPadahal pemandangan kaya gitu biasa aja dan rumah di atas sungai plus perahu-perahu nya sering liat disini. Tapi kok pas kak Sitam yang foto (ditambah ceritanya) bisa jadi sekeren ini:(((( gak adil:(((((
BalasHapusAniwei kalo disini, rumah-rumah di atas sungai alias rumah apung disebutnya lanting:)) tapi itu ngapung gak?
Haahahahhaha, perasaanmu aja. Tulisanmu juga bagus kok, wah makasih atas info nama rumah apungnya, aku malah gak tahu namanya kalau di sini :-(
Hapuswah saya bsia ngebayangin nuansanya mas kece dah mantap euuuyy...
BalasHapusSuasana kampung nelayan itu tak jauh-jauh dari amis ikan dan bau solar serta letupan mesin kapal. :-D
Hapus